Filsafat Ilmu
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Disusun Oleh:
Jon Sastro
Dosen:
Dr. Osa Juarsa, M.Pd
PROGRAM STUDI
MAGISTER ADMINISTRASI/MANAJEMEN
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA FKIP
UNIVERSITAS BENGKULU
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayahNya kami selaku kelompok 5 dapat menyelesaikan tugas makalah
Filsafat Ilmu mengenai “Manusia dan kebudayaan” ini dengan baik dan lancar.
Fitrah kehidupan manusia adalah menjalani kehidupan ini sesuai
dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu
Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk
ciptaan-Nya.
Kami menyadari akan adanya kekeliruan dari segi struktur kata,
bahkan pembahasan yang kurang koheren untuk dijadikan sebagai Makalah. Untuk
itu, kami mengharapkan sebuah kritikan dan saran yang mendukung demi
kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya. Terimakasih.
Bengkulu, April 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C.
Tujuan .................................................................................................. 2
D.
Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Manusia dan Kebudayaan..................................................................... 3
a.
Pengertian ..................................................................................... 3
b.
Perbedaan........................................................................................ 3
c.
Kebudayaan dan Pendidikan.......................................................... 5
B.
Ilmu dan Pengembangan
Kebudayaan Nasional ................................. 9
a.
Ilmu Sebagai Suatu Berfikir.......................................................... 10
b.
Ilmu Sebagai Asas Moral.............................................................. 10
c.
Nilai-nilai dan pengembangan
Kebudayaan Nasional.................. 12
d.
Kearah Peningkatan Peranan
Keilmuan........................................ 12
C.
Dua Pola Kebudayaan........................................................................ 13
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu adalah seperangakat pengetahuan yang merupakan buah pemikiran
manusia yang memiliki metode tertentu yang berguna untuk umat manusia agar
manusia dapat senantiasa eksis dalam kehidupannya.
Ilmu yang menjadi alat bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dan
merubah lingkungan, memiliki kaitan erat dengan kebudayaan. Talcot Parsons
(Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa “Ilmu dan kebudayaan saling
mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang
dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi
dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling
mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu
akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.
A.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas
yaitu:
1.
Manusia dan Kebudayaan
2.
Ilmu dan Pengembangan
Kebudayaan Nasional
3.
Dua Pola Kebudayaan
B. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, yang mejadi
tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apa itu Manusia
dan Kebudayaan
2.
Untuk mengetahui bagaimana Ilmu
dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
3.
Untuk mengetahui bagaimana Dua
Pola Kebudayaan
C.
Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah sebagai
acuan untuk mengetahui hakiakat manusia dan kebudayaan dalam filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia dan Kebudayaan
a. Pengertian
Definisi kebudayaan selalu mengalami perkembangan seiring
bergulirnya waktu, namun definisi-definisi yang timbul tersebut secara keseluruhan
dapat diambil garis merah bahwa tidak memiliki perbedaan signifikan yang
bersifat prinsip jika harus berpatokkan pada definisi pertama yang berhasil
dicetuskan oleh E. B. Taylor (1871), yakni sebagai suatu keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kemudian, kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi
kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari system religi dan upacara
keagamaan, system pengetahuan, bahasa, kesenian, system mata pencaharian serta
sitem teknologi dan peralatan.
b. Perbedaan
Berbagai sepak terjang manusia yang beraneka ragam merupakan buah
bukti atas kolaborasi kebutuhan yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga
memotivasi untuk memenuhi segala kebutuhan mereka tersebut. Dalam hal ini,
menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap
kebutuhan dasar hidupnya. Berbagai kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan fisiologi,
rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi inilah yang menjadikan
suatu ciri khas tersendiri bagi manusia, jika dibandingkan dengan binatang yang
tidak memiliki kebutuhan sedetail itu. Akan tetapi, kebutuhan binatang lebih
terpusat pada kebutuhan fisiologi dan rasa aman serta pemenuhan kebutuhan
secara instinktif. Sebaliknya, jika binatang tidak memiliki kebutuhan sekonkret
manusia, namun binatang memiliki satu kebutuhan yang tidak manusia miliki,
yakni kebutuhan secara instinktif tersebut. Hal inilah yang mendorong manusia
untuk berbelok pada konsep kebudayaan yang lebih mengajarkan tentang bagaimana
cara hidup, guna membangun dinding sekat antara manusia dan binatang.
Kelemahan manusia dengan ketidakmampuan untuk bertindak instinktif
ini telah diimbangi dengan suatu kemampuan lain berupa kemampuan untuk belajar,
berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik, hal ini tentunya
tidak dimiliki oleh binatang apapun. Selain itu, kemampuan lain yang berbentuk
budi juga memberikan corak berbeda pada manusia yang mana didalamnya terkandung
berbagai hal mengenai dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan,
berfikir, kemauan dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia
mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitar melalui
pemberian penilaian terhadap objek dan kejadian, dan penilaian inilah yang
menjadi tujuan dan isi serta inti dari kebudayaan tersebut.
Kebudayaan dalam hal ini diwujudkan dalam berbagai bentuk
diantaranya dalam bentuk penilaian kebudayaan dan tata hidup yang mencerminkan
nilai kebudayaan yang dikandungnya serta dapat berbentuk sarana kebudayaan yang
merupakan perwujudan bersifat fisik sebagai produk dari kebudayaan atau alat
yang memudahkan kehidupan manusia
Keseluruhan fase kebudayaan diatas sangatlah erat hubungannya dengan
pendidikan sebab secara tidak langsung proses kebudayaan ini didapat oleh
manusia melalui pintu gerbang pendidikan. Adat kebudayaan diwariskan pada
generasi selanjutnya pasti melewati proses belajar, dengan demikian kebudayaan
selalu diteruskan dari waktu ke waktu. Maka pada sub bab selanjutnya akan kita
kupas mengenai hubungan antara kebudayaan dan pendidikan secara lebih
terperinci, sekaligus akan dikaji beberapa masalah pokok yang perlu
diperhatikan terkait kemajuan proses pendidikan yang dikaitkan dengan
kebudayaan.
c. Kebudayaan dan
pendidikan
Sebelum kita menyelami lebih dalam mengenai kebudayaan, kaitannya
degan pendidikan. Maka tidak ada salahnya jika terlebih dahulu kita mengenal
beberapa nilai dasar dalam kebudayaan, diantaranya:
a)
Nilai teori; hakikat penemuan kebenaran melalui berbagai metode seperti
nasionalisme, empirisme dan metode ilmiah,
b)
Nilai ekonomi; mencakup dengan kegunaan berbagai benda dalam memenuhi
kebutuhan manusia,
c)
Nilai estetika; nilai yang berhubungan dengan keindahan dan segi-segi
artistic yang menyangkut bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang
memberikan kenikmatan pada manusia,
d)
Nilai social; nilai yang berorientasi pada hubungan antat manusia dan
penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur,
e)
Nilai politik; nilai yang berpusat pada kekuasaan dan pengaruh baik
dalam kehidupan masyarakat maupun di dunia politik, dan
f)
Nilai agama; nilai yang beorientasi pada penghayatan yang
bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi
arti bagi kehadirannya di muka bumi.
Setiap kebudayaan memiliki skala hirarki yang begitu terformat
mengenai beberapa nilai di atas, mulai tingkatan yang kurang penting hingga
nilai terpenting dari nilai-nilai di atas. Juga memiliki penilaian tersendiri
dari tiap-tiap kategori tersebut. Berdasarkan penggolongan tersebut di atas
maka masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah menetapkan nilai-nilai
budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam diri anak bangsa.
Memahami pengertian pendidikan yang dapat dimaknai secara luas
sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk
mengembangkan fikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya, mengharuskan kita
untuk selalu up to date dalam pengkajian masalah tersebut. hal ini harus
dilakukan disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
Pertama; nilai-nilai budaya yang akan
dikembangkan harus sesuai dengan tuntutan zaman, kelak di masa anak bangsa
hidup. Kedua; usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan
kita untuk lebih eksplisit dan definitive tentang hakikat nilai-nilai budaya
tersebut. keharusan ini disebabkan karena gejala kebudayaan yang lebih banyak
bersifat tersembunyi daripada terungkap, bahkan hakekat kebudayaan tersebut
justru yang tersembunyi bagi masyarakat umum. Hal ini tidaklah lain disebabkan
karena sikap kita sendiri yang menelan begitu saja tanpa menyaring dan mengenal
lebih dalam terlebih dahulu segala kebudayaan baru yang datang
Masalah ini lebih serius lagi jika diperhatiakn bahwa dalam
faktanya, nilai kebudayaan yang diajarkan dalam pendidikan tidaklah sesuai
dengan keperluan anak bangsa kelak di masa mendatang. hal ini diperkuat dengan
kesimpulan penelitian Sheldon Shaeffer di kecamatan Turen, Malang. Menyatakan
bahwa kegiatan pendidikan dasar di tempat tersebut tidak memberikan
pengetahuan, nilai, sikap yang diperlukan anak kelak sebagai bekal hidup pada
abad XXI. Maka, sebagai solusi untuk menjawab salah satu permasalahan di atas,
haruslah ditentukan terlebih dahulu alur perkiraan scenario kihidupan
masyarakat mendatang. tentunya harus berpacu pada perkembangan dan keadaan
masyarakat Indonesia saat ini, sebagai barometer tersendiri untuk menentukan
keadaan mendatang. langkah pertama yang bisa kita lakukan dengan memusatkan
perhatian pada nilai-nilai masyarakat modern yang sedang berkembang, sebelum
memprediksikan perkembangan akan datang. Selain itu, selayaknya kita memahami
secara mendalam criteria masyarakat modern, baik dari segi kehidupan, ekonomi,
budaya, dll. Kemudian, dibandingkan dengan criteria dan cirri-ciri masyarakat
tradisional yang mestinya terdapat sisi kekurangan diantara keduanya. Setelah
barulah kita merancang pengembangan kreativitas kebudayaan yang diselipkan
dalam proses pendidikan, agar kebudayaan selalu up to date tanpa
meninggalkan nilai-nilai suci budaya yang diwariskan dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat mendatang. sehingga, tidak mengurangi rasa peduli dan
antusias masyarakat dalam mempelajari, mengamalkan dan mengajarkan kebudayaan
tersebut secara turun menurun.
Dalam proses pewarisan budaya di atas, perlu dipondasikan terlebih
dahulu dengan menggunakan nilai agama. Karena nilai agama berfungsi sebagai
sumber moral bagi segenap kegiatan. Hakikat segala usaha manusia dalam lingkup
kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia, bukan
sebaliknya. Sebab jika tidak demikian, maka hal ini bukanlah suatu proses
pembudayaan melainkan dekadensi, proses peruntuhan peradaban.dalam hal ini,
agama memang memberikan kompas dan tujuan serta arti tersendiri bagi manusia
yang berbeda dengan makhluk apapun itu yang ada di jagad raya ini. Kemajuan
pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dinilai ternyata tidak
memberikan nilai kebahagiaan yang hakiki, hal ini menyebabkan manusia kembali
pada nilai-nilai agama yang dinilai memang sebagai pondasi dan pedoman dalam
mencapai kejayaan peradaban dan kebudayaan. Kita ingat bahwa “ilmu tanpa agama
adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Jadi, memang kebuyaan sesungguhnya yang perlu kita wariskan pada
anak bangsa ialah menjadikan mereka manusia yang bertaqwa, terdidik, bermoral
tinggi, brakhlak mulia dan makhluk yang berusaha maju dengan kerja keras dan
usaha sendiri (mandiri).
B.
Ilmu dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa “Ilmu dan
kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu
dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut
tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari
ilmu dan penerapan”. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling
tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam
suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain,
pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan
unsur dari kebudayaan. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang
mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan
kehidupan bernegara.
Dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai
peranan ganda (Suriasumantri, 1990:272)
a.
Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan
kebudayaan nasional.
b.
Ilmu merupakan sumber nilai yang meengisi pembentukan watak suatu bangsa.
Dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, terkadang ilmu dikaitkan
dengan teknologi. Kebudayaan kita tak terlepas dari teknologi. Namun sayangnya
yang memiliki pengaruh yang dominan pada kebudayaan adalah teknologi, padahal
teknologi adalah buah/produk kegiatan ilmiah. Sedangkan ilmu sendiri yang
merupakan sumber nilai yang konstruktif memiliki ruang yang sempit dalam
pengembangan kebudayaan nasional. Maka dari itu, pemahaman terhadap hakikat
ilmu perlu dijadikan fokus pembicaraan dalam rangka untuk mengembangkan
kebudayaan nasional, setelah itu baru dibahas mengenai langkah-langkah apa yang
akan ditempuh untuk meningkatkan peranan keilmuan dalam pengembangan kebudayaan
nasional.
a. Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan
satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan
satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari hasil
proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut
sebagai berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/
pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.
b. Ilmu sebagai asas moral
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral.
Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari,
yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-1642) yang menyatakan bumi bukan
merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan
inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir
di Eropa. Moral reasioning adalah proses dimana tingkah laku manusia,
institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya:
Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat,
konsisten dengan lainnya (http://scribd.com.FilsafatIlmu_dan_MetodeRiset).
Dua karakteristik yang merupakan asas moral bagi ilmuan antara lain
(Suriasumantri, 1990:274):
1. Meninggikan
kebenaraan
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran.
Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari
struktur kekuasaan diluar bidang keilmuan. Ini artinya, untuk mendapatkan suatu
pernyataan benar atau salah seorang ilmuan harus terbebas dari intervensi pihak
lain diluar bidang keilmuan
2. Pengabdian secara
universal
Seorang ilmuan tidak mengabdi pada golongan tertentu, penguasa,
partai politik ataupun yang lainnya. Akan tetapi seorang ilmuan harus mengabdi
untuk kepentingan khalayak ramai.
Dari karakteristik ilmuan diatas, dapat kita ketahui bahwa ilmu yang
merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar haruslah terlepas
dari pengaruh asing diluar bidang keilmuan (bebas nilai) dan harus memiliki
manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas bukan golongan tertentu.
Namun dalam hal ini para ilmuan dalam rangka untuk melakukan penelitian tidak
dapat terlepas dari nilai-nilai ilahiyah, norma yang berlaku dalam masyarakat
dan kondisi budaya agar hasil dari penelitian tersebut tidak mendatangkan
kerusakan yang berakibat fatal, baik bagi manusia itu sendiri maupun alam
semesata.
c. Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni, kritis, rasional,
logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal (Suriasumantri,
1990:275).
Pada hakikatnya, perkembangan kebudayaan nasional adalah perubahan
dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan
yang lebih mencerminkan asprasi dan tujuan nasional. Proses perkembangan
kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kemabli nilai-nilai konvensional
agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai bru yang
fungsional. Untuk terlaksananya proses dalam pengembangan kebudayaan nasional
tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka,
menjunjung kebenaran dan pengabdian universal (Suriasumantri).
d. Kearah peningkatan peranan keilmuan
Berdasarkan pada penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu
memiliki peran dalam mendukung perkembangan kebudayaan nasional. Diperlukan
langkah-langkah yang sistemik dan sistematik untuk meningkatkan peranan dan
kegiatan keilmuan dalam peerkembangan kebudayaan nasional yang pada dasarnya
mengandung beberapa pemikiran sebagaimana tercakup di bawah ini (Suriasumantri,
1990:278)., antara lain:
1.
Ilmu merupakan bagian dari
kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan
kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.
2.
Ilmu merupakan salah satu cara
menemukan kebenaran, disamping itu masih terdapat cara-cara lain yang sah
sesuai dengan lingkup pendekatan dan permasalahannya masing-masing. Pendewaan
terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus dihindarkan
3.
Meninggikan integritas ilmuan
dan lembaga. Dalam hal ini modus operandinya adalah melaksanakan dengan
konsekuen kaidah moral dari keilmuan.
4.
Pendidikan keilmuan harus
sekaligus dikaitkan denga pendidikan moral.
5.
Pengembangan bidang keilmuan
harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang
menyangkut keilmuan
6.
Kegiatan ilmiah haruslah
bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan. Namun ini bukan
berarti kegiatan keilmuan harus bebas dari sistem kehidupan. Seorang ilmuan
tidak akan terlepas dari kehidupan sosial, ideology dan agama, walaupun tidak
mengikat namun seorang ilmuan harus memperhatikan norma-norma yang berlaku pada
masing daerah.
C. Dua Pola Kebudayaan
C.P. Snow adalah seorang ilmuwan sekaligus pengarang buku yang
mengingatkan negara-negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan yakni :
masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan,yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan
teknologi.
Di negara Indonesia juga telah diterapkan dalam bidang keilmuwan itu
sendiri, dengan adanya polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi
ini cenderung kepada beberapa kalangan tertentu untuk mrmisahkan ilmu ke dalam
dua golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Kedua golongan ini
dianggap memiliki perbedaan yang sangat segnifikan,di mana keduanya seakan
membentuk diri sendiri yang masing-masing terpisah sehingga terdapat dua
kebudayaan dalam bidang keilmuwan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Namun perbedaaan itu hanyalah bersifat teknis yang tidak menjurus kepada
perbedaan yang fundamental karena dasar ontologis,epistemologis,dan aksiologi
dari kedua ilmu terssebut adalah sama. Metode yang digunakan di dalam keduanya
adalah metope ilmiah yang sama pula,tak terdapat alasan yang bersifat
metodologis yang membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah
untuk dikontrol. Objek-objek penelaahan ilmu-ilmu alam dapat dikatakan tidak
pernah mengalami perubahan baik dalam perspektif waktu maupun tempat.
Ilmu bukan bermaksud mengumpulkan berbagai fakta tetapi ilmu
bertujuan untuk mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukandan
memungkinkan kita dapat mengetahui sepenuhnya hakikat objek yang kita
hadapi,sehingga pengetahuan dapat memberi kita alat untuk menguasai masalah
tersebut. Hal ini berlaku baik bagi ilmu-ilmu alamiah maupun ilmu-ilmu sosial.
Dimensi perubahannya hanyalah merupakan satu variabel dalam sistem pengkajian
begitu juga tingkat generalisasinya, ilmu-ilmu alamiah dengan ilmu-ilmu sosial
bedanya hanya terletak dalam soal gradasi,dimana tingkat keumumannya suatu
teori ilmu sosial harus lebih jauh diperinci dengan memperhitungkan
faktor-faktor yang bervariasi.
Ilmu-ilmu sosial mengalami masalah dalam menganalisis kuantitatif yaitu seperti :
a.
Sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi seseorang
manusia.
b.
Banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia.
Sehingga menyebabkan ilmu-ilmu alam menjadi relatif maju karena
ilmu-ilmu alam dapat menganalisis data secara kuantitatif dengan mengisolasikan
dalam kegiatan laboratoris. Sedangkan teori ilmu-ilmu sosial merupakan alat
bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,seperti ilmu-ilmu alam
sehingga ilmu-ilmu sosial harus cermat dan tepat. Maka hukum penawaran dan
permintaan yang bersifat kualitatif tidak lagi memenuhi syarat karena tidak
memungkinkan jika kita harus menghitung derajat kenaikan inflansi secara
kuantitatif.
Ilmuwan dalam bidang sosial haruslah berusaha lebih sungguh-sunggguh
untuk pengukuran yang rumit dan variabel yang relatif banyak membutuhkan
pengetahuan matematika dan statistika yang lebih maju dibandingkan dengan
ilmu-ilmu alam. Namun adanya kesukaran dalam pengukuran ini malah dijadikan
ilmu-ilmu sosial bertindak regresif dan membentuk dunianya sendiri yang menjauh
dari matematika serta statistika,sehingga yang memperkuat matematika dan
statistika adalah ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu berkembanglah dua kebudayaan yang
jurang perbedaannya makin melebar dengan sendirinya tanpa kita sadari adanya.
Secara sosiologis terdapat kelompok-kelompok yang memberi nafas baru
kepada ilmu-ilmu sosial dengan mengembangakan ilmu-imu perilaku manusia yang
bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana perbedaan yang utama antara keduanya
hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia
menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif. Ilmu-ilmu perilaku
lebih mengkaji penyusunan teori secara deduktif sebagaimana yang biasanya ada
dalam ilmu-ilmu sosial namun penalaran deduktif digabungkan dengan proses
pengujian induktif. Dan ilmu ekonomi yang paling pertama memasuki tahap
kuantitatif sebelum ilmu-ilmu peri laku.
Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial masih terdapat di Indonesia. Dapat dicerminkan adanya jurusan
Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Jika kita
menginginkan bidang keilmuan mencakup ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka
dualisme harus segera dibongkar karena dapat menghambat psikologis dan
Intelektual bagi pengembangan keimuan di negara kita.
Meskipun terdapat argumen asumsi dalam pembagian jurusan
tersebut,yaitu :
a.
Asumsi pertama mengemukakan bahwa manusia mempunyai bakat yang berbeda dalam
mendidikan matematika sehingga harus dikembangkan pola pendidikan yang berbeda
pula.
b.
Asumsi yang kedua menganggap ilmu-ilmu sosial kurang memerlukan pengetahuan
matematika sehingga dapat menjuruskan keahliannya dibidang keilmuan ini.
Kita harus menganalisis dahulu tujuan pendidikan agar tidak salah
pengasumsian.
Pendidikan
bertujuan :
a.
Pendidikan analitik maka yang penting adalah penguasaan berpikir matematika
yang memungkinkan adanya suatu analisis hingga terbentuknya suatu rumusan
statistik.
b.
Pendidikan simbolik yang penting adalah pengetahuan mengenai kegunaan rumus
tersebut serta penalaran deduktif dalam penyusunan meskipun tidak seluruhnya
merupakan analisis matematika
Jadi adanya pendekatan dikotom dalam pendekatan pendidikan
matematika ini tidak akan bisa memecahkan semua persoalan ,namun paling tidak
terdapat suatu jalan luar yang pragmatis dari dilema yang dihadapi sistem
pendidikan kita dan harus adanya sikap kehati-hatian. Karena manusia adalah
produk dari suatu proses belajar dimana tercakup karakter cara berpikir yang
berkembang sesuai tahapannya.
Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi masalah
ini harus adanya usaha. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita
bukan hanya merupakan suatu yang regresif melainkan juga destruktif,bukan saja
bagi kemajuan ilmu itu sendiri tetapi juga bagi pengengembangan peradaban
secara keseluruhan. Sehingga tidak ada pemisah diantara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar dengan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu
merupakan bagian terpenting dalam membangun dan mengembangkan kebudayaan
nasional. Ilmu dan kebudayaan saling memiliki ketergantungan. Kebudayaan yang
merupakan seperangkat nilai yang berlaku dalam masyarakat harus di dasari oleh
ilmu, agar kebudayaan tersebut dapat selalu berkembang sesuai dengan jalurnya.
Sementara ilmu tidak dapat berkembang jika tidak di iringi oleh kebudayaan,
dalam hal ini adalah kebudayaan ilmiah. Agar kebudayaan tersebut senantiasa
berdiri diatas ilmu dan nilai-nilai normative yang bermuara pada nilai-nilai
ilahiyah maka dibutuhkan pendidikan untuk melestarikan kebudayaan tersebut agar
tetap berada pada jalurnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S. 1981. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar