PERANAN
FILSAFAT ILMU DALAM PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN PENDIDIKAN
MAKALAH
Disampaikan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat
Menempuh Mata Kuliah Filsafat ilmu
Program Studi Magister/Manajemen
Pendidikan
PPs FKIP Universitas Bengkulu Semester 1
Tahun Akademik 2012/1013
Dosen Dr.Osa Juarsa, M.Pd
Oleh
JON
SASRTO
NIM
A2K012116
PROGRAM STUDI
MAGISTER ADMINISTRASI/MANAJEMEN
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA FKIP
UNIVERSITAS BENGKULU
2013
KATA
PENGANTAR
Bismillahirramanirrahim
Assalamualaikum wr.wb
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Peranan Filsafat Ilmu
Dalam Pengembangan Ilmu Manajemen Pendidikan”
Makalah
ini berisikan tentang informasi pengertian filsafat, manajemen, pendidikan dan
manajemen pendidikan, dasar ontologi,
epistemologi dan aksiologi manajemen
pendidikan Dan analisis filsafati
manajemen pendidikan berbasis paradigma konservatif, liberal dan kritis. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang peranan
filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu manajemen pendidikan.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini,
khususnya kepada dosen mata kuliah Dr. Osa Juarsa, M.Pd serta rekan-rekan
seperjuangan di semester 1 Program Studi
Magister/Manajemen Pendidikan Tahun Akademik 2012/1013.
Akhir
kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin Ya robbal’Alamin.
Wassalamualaikum
wr.mb
Bengkulu, Juni 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... I
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... II
BAB
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang .............................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah ......................................................................................... 2
C.
Tujuan
........................................................................................................... 2
D.
Manfaat
......................................................................................................... 3
BAB
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Filsafat
.................................................................................................... 4
2.
Manajement
............................................................................................ 4
3.
Pendidikan
.............................................................................................. 5
4.
Manajemen
Pendidikan .......................................................................... 5
B.
Dasar
Ontology, Epistemology, dan Aksiologi Manajemen Pendidikan
1.
Ontology
Manajemen Pendidikan .......................................................... 6
2.
Epistemology
Manajemen Pendidikan ................................................... 9
3.
Aksiologi
Manajemen Pendidikan .......................................................... 11
C.
Analisis
Filsafati Mananemen Pendidikan .................................................... 15
BAB
III. SIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 23
B.
Saran
............................................................................................................. 24
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................................ 25
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita
pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil
yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu
pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah
induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua
ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral
Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan
(Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh
berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Dalam abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara
maju dibelahan dunia, muncul cabang ilmu pengetahuan baru yakni manajemen, yang
semula masih segan diakui sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang
baru. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi) harus memperjuangkan kedudukannya untuk
menjadi ilmu pengetahuan disamping ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Demikian
pula halnya ilmu ”manajemen” yang menjadi bahan perbincangan kita sekarang.
Barulah pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya negara-negara
industri ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu. Kelahiran ilmu
manajemen kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan yang kemudian disintesiskan
menjadi menajemen pendidikan.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala
atau objek sesuatu ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit ada
3 hal yang pertanyakan (1) apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis),
(2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan
epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas
yaitu:
1.
Pengertian filsafat, manajemen,
pendidikan, dan manajemen pendidikan
2.
Dasar ontologi,
epistemologi dan aksiologi manajemen
pendidikan
3.
Analisis filsafati manajemen pendidikan
berbasis paradigma konservatif, liberal dan kritis
C. Tujuan
Dari rumusan masalah
di atas, yang mejadi tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui Pengertian
filsafat, manajemen, pendidikan, dan manajemen pendidikan
2.
Untuk mengetahui Dasar
ontologi, epistemologi dan aksiologi
manajemen pendidikan
3.
Untuk mengetahui Analisis
filsafati manajemen pendidikan berbasis paradigma konservatif, liberal dan
kritis
D. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi tentang pengertian filsafat, manajemen, pendidikan
dan manajemen pendidikan, dasar ontologi,
epistemologi dan aksiologi manajemen
pendidikan Dan analisis filsafati
manajemen pendidikan berbasis paradigma konservatif, liberal dan kritis. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang peranan
filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu manajemen pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat, Manajemen, Pendidikan, Dan Manajemen Pendidikan
1.
Filsafat
Filsafat merupakan ilmu dari segala ilmu pengetahuan. Filsafat
merupakan benih dari munculnya ilmu-ilmu lain di dunia sehingga muncullah
berbagai disiplin ilmu yang kini dipelajari secara khusus. Filsafat lahir dari
adanya rasa ingin tahu manusia tentang segala hal di sekitarnya, rasa ingin
tahu tersebutlah yang mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan awal filosofis
tentang pengertian sesuatu yang diamati. Lambat laun mulai dirumuskan beberapa
teori sehingga terkumpul banyak teori yang akhirnya terkomulasi menjadi
disiplin ilmu tertentu sesuai dengan ilmunya.
2.
Manajemen
Sebagaimana
dicatat dalam Encyclopedia Americana manajemen merupakan "the art of
coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of
the purposes of an organization", yaitu suatu seni untuk mengkoordinir
sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumberdaya organisasi
tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(ma-terials)
danmesin(machines).Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai
dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders)
yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi.
3.
Pendidikan
Pendidikan
merupakan setiap proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge
acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skills developments) sikap
atau mengubah sikap (attitute change). Pendidikan adalah suatu proses
transformasi anak didik agar mencapai hal _hal tertentu sebagai akibat proses
pendidikan yang diikutinya.
Sebagai
bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi sosial
dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi
anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif
masa lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkinkan
seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan
menyiapkannya untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Fungsi tersebut
dapat dilakukan secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga
pendidikan, maupun informal melalui berbagai kontak dengan media informasi
seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya.
4.
Manajemen
pendidikan
Dari
pengertian diatas, manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk
mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan
prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai
tujuan dan sasaran pendidikan.
B.
Dasar
Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi
Manajemen Pendidikan
1. Ontologi Manajemen Pendidikan
1. Ontologi Manajemen Pendidikan
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan melalui
pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang
berupa tingkat kualitas maupun kuantitas hasil yang dicapai. Objek materi
manjemen pendidikan pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh
kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan
(motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan
negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan
penilaian, dan pelaporan).
a.
Konsep Manajemen Pendidikan
Menurut
Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu
mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara. Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan
sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber daya pendidikan adalah sesuatu
yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi enam hal; (1)
administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik; (3) administrasi
keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi hubungan
sekolah dengan masyarakat; dan (6) administrasi layanan khusus.
b.
Tujuan Dan Manfaat Manajemen Pendidikan
Sesuai
dengan tujuannya, maka manfaat manajemen pendidikan; Pertama, terwujudnya suasana
belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAIKEM); Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; Ketiga, terpenuhinya
salah satu dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya
kompetensi profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai
manajer); Keempat, tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien;
Kelima, terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas
administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau
konsultan manajemen pendidikan); Keenam, teratasinya masalah mutu
pendidikan.(Husaini, 2006:8)
c.
Temuan masalah
Ada
tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu : (1) kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production
function atau input-input analisis yang tidak consisten; (2) penyelenggaraan
pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik; (3) peran serta masyarakat
khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim
(Husaini Usman, 2002).
Diskusi
tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan
hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih
memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang
mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan
dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are
necessary but not sufficient condition to improve student achievement) (Umaedi:
1999).
Dari
uraian teori dan temuan tersebut tentu saja kita harus mendapatkat titik
penyelesaian secara teoritis dengan mengadakan pendekatan teori pula dengan
berlandaskan pada filsafat. Karena Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh
demikian maka menurut Gordon akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing
link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan
begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat
optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang
kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh. Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler dalam Umaedi, 1999).
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan melalui
pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang
berupa tingkat kualitas maupun kuantitas hasil yang dicapai. Objek materi
manjemen pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan
kependidikan, yaitu, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengkomunikasian dan pengawasan.
2.
Epistemologis Manajemen Pendidikan
Dasar
epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun
pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun
telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan
fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Pemikiran ini
telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu
pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling
depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan
manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality
Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental)
disebut School Based Quality Improvement.
Konsep manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep
manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi
lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat
dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat
khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan,
khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk
terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing
– masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat
sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan
peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya
pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari
individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses
pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa
peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat,
dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran
sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu
pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target
mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi
sekolah kedepan
Peran esensial
pemimpin mempunyai peran strategis dalam upaya perbaikan kualitas. Setiap
anggota organisasi harus memberikan konstribusi penting dalam upaya tersebut.
Namun, setiap upaya perbaikan yang tidak didukung secara aktif oleh pimpinan,
komitment, kreatifitas, maka lama-kelamaan akan hilang .
3. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan
Kemanfaatan
teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan
sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai
manajemen pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni
untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang
sangat tipis antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi
pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai
bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya
pendidikan memerlukan teknologi pula untuk menjembatani persoalan yang sedang
berlangsung maupun yang akan terjadi.
Implikasinya
pada penyelesaian temuan diatas ialah aplikasi teoritis untuk menjabarkan
fenomena sekaligus peneyelesaian secara konperhensif. Terkait dengan masalah
kualitas (mutu) tersebut maka penyusunan program peningkatan mutu dengan
mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality
assurance, dan d) quality control. Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah
(2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut :
a.
School review
Suatu proses dimana seluruh komponen
sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli)
untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab
pertanyaan berikut :
1) Apakah yang dicapai sekolah sudah
sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa sendiri ?
2) Bagaimana prestasi siswa ?
3) Faktor apakah yang menghambat upaya
untuk meningkatkan mutu?
4) Apakah faktor-faktor pendukung yang
dimiliki sekolah ?
School
review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan,
kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan
program tahun mendatang.
b.
Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar
dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat
diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga.
Tiga
pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
1) Seberapa baik kondisi kita?
2) Harus menjadi seberapa baik?
3) Bagaimana cara untuk mencapai yang
baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah
:
a) Tentukan fokus
b) Tentukan aspek/variabel atau
indikator
c) Tentukan standar
d) Tentukan gap (kesenjangan) yang
terjadi.
e) Bandingkan standar dengan kita
f) Rencanakan target untuk mencapai
standar
g) Rumuskan cara-cara program untuk
mencapai target
c.
Quality assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa
proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini
akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik
menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga, menjadi
subsistem sekolah. Quality assurance akan menghasilkan informasi, yang :
1) Merupakan umpan balik bagi sekolah
2) Memberikan jaminan bagi orang tua
siswa bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi siswa.
Untuk melaksanakan quality assurance
menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala sekolah (2000:6),
maka sekolah harus :
a) Menekankan pada kualitas hasil
belajar
b) Hasil kerja siswa dimonitor secara
terus menerus
c) Informasi dan data dari sekolah
dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki proses di sekolah.
d) Semua pihak mulai kepala sekolah,
guru, pegawai administrasi, dan juga orang tua siswa harus memiliki komitmen
untuk secara bersama mengevaluasi kondisi sekolah yang kritis dan berupaya
untuk memperbaiki.
d. Quality control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya
penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Quality control
memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga dapat ditentukan
penyimpangan kualitas yang terjadi.
C.
Analisis
Filsafati Manajemen Pendidikan Berbasis Paradigma Konservatif, Liberal Dan
Kritis
Sebagaimana
yang disampaikan Paula Allman (1999), proses pendidikan tidaklah dimaknai
sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tapi lebih sebagai
proses untuk memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan
sebagai sebuah alat untuk mengubah realitas. Namun apakah para pendidik
menerapkan hal tersebut? Lalu, apakah paradigma pendidikan yang, sadar atau
tidak sadar, digunakan oleh para pendidik kita saat ini? Apakah paradigma
konservatif, paradigma liberal, atau paradigma pendidikan kritis? Dan
pendekatan pendidikan seperti apa yang mereka gunakan? Apakah pendekatan
pedagogi ataukah andragogi?
Menurut
Giroux dan Aronowitz (1985), paradigma konservatif dibangun berdasarkan
keyakinan bahwa bahwa masyarakat, dalam hal ini peserta didik, pada dasarnya
tidak merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Dengan
pandangan seperti itu, para pendidik yang menggunakan paradigma konservatif
menganggap peserta didik tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk melakukan
perubahan atas kondisi mereka.
Para
pendidik ini sangat melihat pentingnya harmoni dan menghindari konflik dan
kontradiksi. Hampir senada dengan paradigma konservatif, para pendidik yang
menggunakan paradigma liberal menganggap bahwa pendidikan adalah sesuatu yang apolitis
dan menganggap bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang
berbeda. Pendidikan justru dijadikan alat untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar
masyarakat luas berfungsi dengan baik untuk menjaga kestabilan sistem yang ada.
Pengaruh
positivisme sangat besar dalam paradigma liberal ini, di mana paham ini
mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai-nilai dalam rangka menuju pemahaman yang
objektif terhadap realtias sosial yang terjadi. Pendidikan liberal inilah yang
mendominasi segenap pemikiran para pendidik Indonesia. Hal ini terlihat dari
pendidikan yang lebih mengutamakan prestasi melalui persaingan antar peserta
didik. Namun adakah pendidik yang menggunakan paradigma pendidikan kritis dalam
proses pendidikannya? Suatu paradigma yang menghendaki perubahan struktur
secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada.
Hal ini berbeda dengan paradigma konservatif yang bertujuan untuk menjaga
status quo dan paradigma liberal yang menginginkan perubahan moderat. Dalam
perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap
“the dominant ideology” ke arah transformasi sosial.
Tugas
utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan
sruktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem
sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap
netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti
anjuran positivisme.
Visi
pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan
terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan
lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang
untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk
transformasi sosial. Dengan kata lain, sebagaimana yang disampaikan Driyarkara
(1980), tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Lalu
bagaimana implikasi dari paradigma pendidikan tersebut pada pendekatan
pendidikan yang digunakan oleh para pendidik? Knowles (1970) mengungkapkan
bahwa pendekatan pendidikan pada dasarnya diklasifikasikan ke dalam dua bentuk
pendekatan yang saling kontradiktif, yakni antara pedagogi dan andragogi.
Pedagogi sebagai “seni mendidik anak” mendapat pengertian lebih luas dimana
suatu proses pendidikan yang “menempatkan objek pendidikannya sebagai
“anak-anak”, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk “dewasa”. Konsekuensi
logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “murid” yang
pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek suatu proses belajar seperti misalnya:
guru menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid
tunduk pada pilihan terseut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi, dan
seterusnya.
Kegiatan
belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara
murid menjadi bagian pinggiran. Sebaliknya, andragogi atau pendekatan
pendidikan “orang dewasa” merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar
sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan
“murid” sebagai adalah subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang
dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih
bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk
belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat
pendidikan.
Fungsi
guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi
antara guru-murid bersifat “multicommunication” dan seterusnya. Sebagai
pendekatan, andragogi dan pedagogi sering digunakan dalam ketiga paradigma
konservatif, liberal, dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses
pendidikan yang konservatif atau liberal, tetapi dilakukan dengan cara
pendekatan andragogi.
Perkawinan
antara andragogi dan paradigma konservatif atau liberal sesungguhnya adalah
menghubungkan dua hal yang kontradiktif. Pendidikan kritis mensyaratkan
penggunaan andragogi sebagai pendekatan ketimbang pedagogi. Secara prinsipil
meletakkan “anak didik” sebagai “objek” pendidikan adalah problem dehumanisasi.
Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat I (blaming the victim) meskipun
digunakan pedekatan andragogi, namun yang terjadi pada dasarnya adalah
menjadikan pendidikan sebagai proses “menjinakkan” untuk menyesuaikan ke dalam
sistem dan struktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan
karakter dari andragogi. Sebaliknya, banyak juga pendidikan yang bertujuan
untuk membangkitkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi
ataupun indoktrinasi.
Meskipun
materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan persoalan mendasar tentang
sistem dan struktur masyarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih “banking
concept of education” bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri
adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga
bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian
pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogi pada dasarnya adalah
kontradikif dan anti-pendidikan. Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk
memanusiakan kembali manusia setengah dewa agar dapat memanusiakan kita sebagai
peserta didik?
Pertama
kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat tidak mampu mengetahui kaitan
antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang
tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan
kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun
supra natural ) sebagai penyebab dan ketakberdyaan.
Dalam
dunia pendidikan jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis
terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif
Freirean disebut sebagai pendidika fatalistik. Proses pendidikan lebih
merupakan proses menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan
pandangan guru. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan
analisis, Kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan satu
masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘ kebenaran ‘ dari guru, tanpa ada
mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan
masyarakat. Paradigma tradisional yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah
konservatif di kategorikan dalam kesadaran magis ini.
Kesadaran
kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini
lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran
ini masalah etika, kreativitas need for achievement dianggap sebagai suatu
perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi
mereka disebabkan karena salah masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak
memiliki jiwa kewiraswsataan, atau tidak memiliki budaya membangun, dan
seterusnya. Oleh karena itu “man power development” adalah suatu yang
diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.
Pendidikan
dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem
dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor given; oleh
sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan
mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar
tersebut. Paradigama umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal
dapat dikatagorikan kedalam kesadaran naïf.
Kesadaan
ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek
sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari
“blaim the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari
struktur dan system sosial , politik, ekonomi dan budaya, dan akibatnya pada
keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk
mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya.
Tugas
pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar
peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik. Paradigma umat Islam transformatif yang
menggunakn model pendidikan kritis dapat dikatagorikan kedalam kesadaran
kritis. Dalam pemetaan diatas, sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih
jauh untuk dikatagorikan pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam tarap
tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun
kalau dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam mainstream
liberal. Hal ini ditandai dengan adanya privatisasi pendidikan, model
subjek-objek (walau secara de yure saat ini menggunakan model KTSP), serta
orientasinya yang kental dengan idiologi kapitalisme.
Ketika
kita membincangkan masalah hakekat pendidikan berarti kita membicarakan aspek
ontologis dari pendidikan itu sendiri. Mempermasalahkan tentang apa itu
sebenarnya pendidikan. Pendidikan merupakan instrumen (alat) bagi manusia yang
mengajarkan tentang bagaimana berperilaku, bertindak, berkomunikasi, berfikir
dalam menghadapi problematika kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan
media untuk “memanusiakan manusia”. Manusia adalah mahluk berfikir, dimana
karakteristik ini membedakan dirinya dengan mahluk yang lain. Melalui pendidikan,
diharapkan partisipan didik mampu berperan aktif dalam mencerap segala
pengetahuan sehingga dia mampu mengenal dirinya dan lingkungannya.
Pada
tahap awal perkembangan manusia, proses pendidikan berlangsung sangat
sederhana. Transformasi pengetahuan dan tingkah laku langsung didapat anak-anak
dari orang tua mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh manusia, pendidikan tidak lagi menjadi monopoli
para orang tua. Mulai terdapat orang lain yang secara khusus meluangkan
waktunya dengan diberi imbalan tertentu. Inilah yang menjadi permulaan dari
institusionalisasi pendidikan bernama sekolah.
Kata
sekolah sendiri berasal dari bahasa latin scolae yang berarti waktu senggang.
Namun, keberadaan sekolah (termasuk juga
universitas) sekarang ini tak lebih dari rumah-makan cepat saji semacam
McDonalds, yang hanya mengutamakan citra dan poduktivitas untuk memenuhi target
kelulusan belaka. Dengan pola pendidikan yang demikian alih-alih produk yang
dihasilkan menjadi kritis dan berkualitas. Bisa-bisa terjadi pembodohan secara
sistematis. Kondisi yang seperti ini klop dengan bentuk Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) yang sekarang ini sedang marak digagas di beberapa perguruan
tinggi negeri. BHMN mengandaikan adanya kemandirian dari tiap PTN dalam hal
akademik maupun keuangan.
Kemandirian
lantas diartikan sebagai legitimasi
untuk meraup sebanyak-banyaknya pemasukan bagi BHMN, dimana jika tidak dimbangi
dengan sumber daya yang mumpuni dalam PTN tersebut maka akan mengarah pada
sikap yang pragmatis (mengejar keuntungan semata). Untuk meghindari pragmatisme
dalam dunia pendidikan, maka semua harus dikembalikan pada hakekat pendidikan,
sehingga paradigma yang dipakai pun juga sesuai dengan tujuan pendidikan itu
sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi (pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting dalam
:
1.
Menentukan nilai-nilai filosofis dalam pengembangan manajemen pendidikan.
2.
Dasar ontologi manajemen pendidikan adalah objek materi manjemen pendidikan
ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu,
Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan
keputusan, komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi)
dan pengendalian (Meliputi Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.
3.
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu
pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
4.
Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan adalah Kemanfaatan teori Manajemen
pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan
untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan
melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
agar supaya upaya dan usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anan,
Nur, 2011. Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi. Akses Internet Jurnal 25 mei 2013
Endaswara,
Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu.:
Yogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta
Suriasumantri, Jujun S. 1981. Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterima kasih
BalasHapus